(Heny Subandiyah)
Aku mendengar
Jerit hewan yang terluka
1. Pendahuluan
Guru pada dasarnya merupakan tenaga kependidikan yang memikul berat tanggung jawab kemanusiaan, khusunya yang berkaitan dengan proses pendidikan generasi penerus untuk membebaskan bangsa dari belenggu kebodohan. Oleh karena itu, sudah selayaknya para guru dituntut memiliki kompetensi profesionalisme yang tinggi dalam proses belajar-mengajar. Guru harus mampu mewujudkan langkah-langkah inovatif dan kreatif agar proses belajar-mengajar lebih bermakna sehingga proses transfer of knowledge dan transfer of value dapat mudah tersampaikan.
Dalam situasi masyarakat yang selalu berubah, idealnya pendidikan tidak hanya berorientasi masa lalu dan masa kini, tetapi hendaknya juga melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik yang akan datang. Pendidikan yang baik tidak hanya mempersiapkan para siswanya untuk suatu profesi atau jabatan tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Satu inovasi yang lahir untuk mengantisipasi perubahan paradigma pembelajaran di atas adalah diterapkannya model-model pembelajaran yang inovatif yang berorientasi konstruktif. Inovasi ini bermula dan diadopsi dari metode kerja para ilmuwan dalam menemukan suatu pengetahuan baru. Model-model ini lahir untuk mengatasi masalah pokok dalam pembelajaran dewasa ini, yakni masih rendahnya daya serap siswa, yang tampak dari hasil belajar mereka yang masih memprihatinkan. Kondisi ini merupakan hasil pembelajaran yang masih bersifat konvensional (tradisional), dan tidak menyentuh ranah peserta didik itu sendiri (yaitu bagaimana sebenarnya belajar itu: belajar untuk belajar). Dengan kata lain, hingga dewasa ini proses pembelajaran masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan kesempatan bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan (inkuiri) dan proses berpikirnya.
Model-model pembelajaran yang inovatif secara garis besar adalah orientasi yang semula berpusat pada guru (teacher-centered) beralih berpusat pada siswa (student-centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula bersifat tekstual beralih ke kontekstual. Semua perubahan itu dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan (Komaruddin, tanpa tahun).
2. Tinjauan Umum tentang Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran, termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam desain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai (Joyce, dalam Trianto, 2007:5).
Selanjutnya Soekamto, dkk. (dalam Trianto, 2007:5) mengatakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasi pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Arends (1997:7) menyatakan, “The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, yntax, environment, and management system.” (Istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya).
Istilah model pembelajaran mempunyai arti yang lebih luas dari pada strategi, metode, atau prosedur. Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut adalah: (1) rasional teoretik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai (Kasdi dan Nur, 2000:9).
Selain memiliki ciri-ciri khusus, menurut Nieveen (1999) suatu model pembelajaran dikatakan baik jika memiliki kriteria sebagai berikut: Pertama, sahih (valid). Aspek validitas dikaitkan dengan dua hal, yaitu (1) apakah model didasarkan pada rasional teoretik yang kuat; dan (2) apakah terdapat konsistensi internal. Kedua, praktis. Aspek kepraktisan hanya dapat dipenuhi jika: (1) para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan; dan (2) kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat dikembangkan. Ketiga, efektif. Parameter kefektivan meliputi: (1) ahli dan praktisi berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif; dan (2) secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Senada dengan hal tersebut, Khabibah (2006) menyatakan bahwa untuk melihat tingkat kelayakan suatu model pembelajaran untk aspek validitas, dibutuhkan ahli dan praktisi untuk memvalidasi model pembelajaran yang dikembangkan; sedangkan unuk aspek kepraktisan dan efektivitas diperlukan suatu perangkat pembelajaran untuk melaksanakan model yang dikembangkan. Dengan demikian, untuk melihat dua aspek ini perlu dikembangkan suatu perangkat pembelajaran untuk topik tertentu yang sesuai dengan model pembelajaran tersebut. Selain itu, dikembangkan pula instrumen penelitian yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Arends (1997:24) menyeleksi enam model pembelajaran yang sering dan praktis digunakan dalam belajar-mengajar, yaitu: presentasi, pengajaran langsung, pengajaran konsep, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah, dan diskusi kelas. Selanjutnya Arends mempertegas bahwa tidak ada satu model pembelajaran yang paling baik di antara lainnya karena msing-masing model dapat dirasakan baik jika sudah diujicobakan untuk mengajarkan materi tertentu. Dengan kata lain, beberapa model pembelajaran yang ada kiranya perlu diseleksi model mana yang paling baik untuk mengajarkan materi tertentu. Dan dalam kesempatan ini pembahasan difokuskan pada pembelajaran berdasarkan masalah, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah.
3. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
3.1 Pengertian Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pembelajaran berdasarkan masalah telah dikenal sejak zaman John Dewey, sebab secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri atas menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (dalam Trianto, 2007:67), belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah, belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian dan bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, pembelajaran berdasarkan masalah (selanjutnya disingkat PBI) didasarkan pada teori psikologi kognitif. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Walaupun peran guru pada pembelajaran ini kadang melibatkan presentasi dan penjelasan suatu hal, namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah.
PBI juga didasarkan pada konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh ahli psikologi Eropa Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati (Ibrahim dan Nur, 2005:16-17). Pandangan konstruktivis-kognitif mengemukakan, siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan mereka tidak statis, tetapi terus-menerus tumbuh dan berubah saat siswa menghadapai pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal. Menurut Piaget, pendidikan yang baik harus melibatkan siswa dengan situasi-situasi yang dapat membuat anak melakukan eksperimen mandiri, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (Duckworth, dalam Ibrahim dan Muh. Nur, 2005: 17-18).
PBI juga merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks (Ratumanann, dalam Trianto, 2007).
Menurut Arends (1997, dalam Trianto, 2007:68), PBI merupakan pembelajaran yang menuntut siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti pembelajaran berdasarkan proyek (project-based instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction), belajar otentik (authentic learning), dan pembelajaran bermakna (anchored instruction).
PBI juga bergantung pada konsep lain dari Bruner, scaffolding, yaitu suatu proses yang membuat siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Peran dialog juga penting, interaksi sosial di dalam dan di luar sekolah berpengaruh pada perolehan bahasa dan perilaku pemecahan masalah anak.
Sementara itu, PBI mempunyai kaitan erat dengan pembelajaran penemuan (inkuiri). Pada kedua model ini guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Adapun perbedaannya dalam beberapa hal penting, yaitu: sebagian besar pelajaran dalam inkuiri didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin, dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru dan terbatas di lingkungan kelas. PBI dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna, yang memberi kesempatan kepada siswa dalam memilih dan menentukan penyelidikan apa pun baik di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diperlukan untuk memecahkan masalah (Ibrahim dan Muhammad Nur, 2005: 23).
3.2 Karakteristik Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Karakteristik pembelajaran berdasarkan masalah adalah:
(1) Pengajuan pertanyaan atau masalah. PBI mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Menreka mengajukan situasi kehidupan nyata, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai solusi untuk situasi itu.
(2) Berfokus pada keterkaitan antardisiplin. Meskipun PBI berpusat pada mata pelajaran tertentu, masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa dapat meninjau masalah itudari berbagai mata pelajaran.
(3) Penyelidikan autentik. PBI mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpulkan dan melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
(4) Menghasilkan produk dan memamerkannya. PBI menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang merfeka temukan. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat , laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata dan peragaan direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada temannya tentang apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
(5) Kolaborasi. PBI dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberi motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan berpikir.
3.3 Manfaat Pembelajaran Berdasarkan Masalah
PBI tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, melainkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajaran yang mandiri (Ibrahim, dkk., 2000:7).
Menurut Sudjana manfaat khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah. Tugas guru adalah membantu siswa merumuskan tugas-tugas dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku teks tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya (dalam Trianto, 2007:71).
3.4 Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah
PBI terdiri atas lima langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut.
TAHAP | TINGKAH LAKU GURU |
1. Orientasi siswa pada masalah | Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih |
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar | Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut |
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok | Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah |
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya | Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya |
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah | Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan |
Menurut Ibrahim (dalam Trianto, 2007:72) di dalam kelas PBI, peran guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru dalam kelas PBI antara lain: (1) mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari; (2) memfasilitasi/membimbing penyelidikan, misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen; (3) memfasilitasi dialog siswa; dan (4) mendukung belajar siswa.
4. Pelaksanaan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
4.1 Tugas-tugas Perencanaan
Karena hakikat interaktifnya, model PBI membutuhkan banyak perencanaan, meliputi:
(1) Penetapan tujuan
Model PBI dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan seperti keterampilan menyelidiki, memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa menjadi pembelajar mandiri. Dalam pelaksanaannya pembelajaran ini diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
(2) Merancang situasi masalah
Beberapa guru dalam pengajaran berdasarkan masalah lebih suka memberi keleluasaan kepada siswa untuk memilih masalah yang akan diselidiki, karena cara ini dapat meningkatkan motivasi siswa. Situasi masalah yang baik seharusnya autentik, mengandung teka-teki, dan tidak didefinisikan secara ketat, memungkinkan kerjasama, bermakna bagi siswa, dan konsisten dengan tujuan kurikulum.
(3) Organisasi sumber daya dan rencana logistik
Dalam pengajaran berdasarkan masalah siswa dimungkinkan bekerja dengan beragam material dan peralatan serta dalam pelaksanaan, atau di laboratorium, bahkan dapat pula dilakukan di luar sekolah. Oleh karena itu tugas mengorganisasikan sumber daya dan merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan siswa, haruslah menjadi tugas perencanaan yang utama bagi guru yang menerapkan pembelajaran berdasarkan pemecahan masalah.
4.2 Tugas Interaktif (lihat juga subbab Sintaks PBI)
a. Orientasi Siswa pada Masalah
Siswa perlu memahami bahwa tujuan pengajaran berdasarkan masalah adalah tidak untuk memperoleh informasi baru dalam jumlah besar, tetapi untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah penting dan untuk menjadi pembelajar yang mandiri. Cara yang baik dalam menyajikan masalah untuk suatu materi pelajaran dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah dengan menggunakan kejadian yang mencengangkan dan menimbulkan misteri sehingga membangkitkan minat dan keinginan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b. Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar
Pada model pembelajaran berdasarkan masalah dibutuhkan pengembangan keterampilan kerja sama di antara siswa dan saling membantu untuk menyelidiki masalah secara bersama. Berkenaan dengan hal itu, siswa memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas pelaporan.
c. Membantu Penyelidikan Mandiri Ataupun Kelompok
Guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi dari berbagai sumber dengan jalan diberikan berbagai pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut.
Guru mendorong untuk pertukaran ide secara bebas dan penerimaan sepenuhnya ide-ide tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam tahap penyelidikan dalam rangka pembelajaran berdasarkan masalah. Selama penyelidikan, guru memberikan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas siswa. Puncak-puncak proyek PBI adalah penciptaan dan peragaan artifak seperti laporan, poster, model-model fisik, dan video tape.
d. Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah
Tugas guru pada tahap akhir PBI adalah membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka dan keterampilan penyelidikan yang mereka gunakan.
4.3 Lingkungan Belajar dan Tugas-tugas Manajemen
Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa guru perlu memiliki seperangkat aturan yang jelas agar pembelajaran dapat berlangsung tertib tanpa gangguan. Di samping itu, juga agar dapat menangani siswa yang menyimpang secara cepat dan tepat, serta panduan bagaimana mengelola kerja kelompok. Salah satu masalah yang cukup rumit adalah bagaimana guru harus menangani siswa (individu maupun kelompok) yang menyelesaikan tugas lebih awal maupun yang terlambat.
Selain itu, guru sering menggunakan sejumlah bahan dan peralatan, dan hal ini biasanya dapat merepotkan dalam pengelolaaannya. Oleh karena itu, untuk efektivitas kerja, guru harus memiliki aturan dan prosedur yang jelas dalam pengelolaan, penyimpanan, dan pendistribusian bahan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah guru harus menyampaikan aturan, tatakrama/sopan santun yang jelas untuk mengendalikan tingkah laku siswa ketika mereka melakukan penyelidikan di luar kelas, terlebih ketika melakukan penyelidikan di masyarakat.
4.4 Evaluasi
Dalam PBI perhatian pembelajaran tidak pada perolehan pengetahuan deklaratif, oleh karena itu tugas penilaian tidak cukup bila hanya dengan tes tertulis atau tes kertas dan pensil (paper and pencil test). Teknik penilaian yang sesuai dengan model ini adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan siswa yang merupakan hasil penyelidikan mereka.
Tugas evaluasi yang sesuai untuk model ini terutama terdiri atas menemukan prosedur penilaian alternatif yang akan digunakan untuk mengukur pekerjaan siswa, misalnya dengan penilaian kinerja dan peragaan hasil.
5. Pelaksanaan Pembelajaran Berdasarkan Masalah dalam Pembelajaran Sastra
5.1 Tujuan Pembelajaran Sastra: Mencerdaskan Siswa
Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah sama dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki antara keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pembelajaran sastra pada dasarnya mengemban misi afektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan, dan rasa hormatnya terhadap tatanilai—baik dalam konteks individual maupun sosial.
Sehubungan dengan hal itu Boen S. Oemarjati (dalam Mulyanto Sumardi, ed., 1996: 196-202) menyatakan beberapa hal, sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Peran sastra dalam mencerdaskan siswa harus ditinjau dari berbagai segi yang secara bersama-sama membentuk wadah kegiatan belajar-mengajar. Siswa harus memahami bahwa terdapat keterpaduan dalam sastra. Yang dimaksudkan adalah keeratan unsur-unsur makro yang melandasi eksistensi sastra, yaitu pengarang, karya, dan pembaca. Masing-masing unsur tersebut memiliki kekhasannya; kekhasan pengarang tercermin dalam karya sehingga karya tersebut memiliki keunikan tersendiri; sedangkan kekhasan pembaca terwujud dalam kemampuannya mengapresiasi karya tersebut. Menelaah atau menikmati sastra haruslah mempertimbangkan ketiga unsur tersebut sebagai suatu kesatuan yang padu.
Dengan mengingat keterpaduan ketiga unsur makro dalam sastra maka peran guru dalam pembelajaran sastra dapat diibaratkan sebagai seorang pelatih dalam suatu tim olah raga. Hanya kadang-kadang guru dituntut sekaligus sebagai wasit. Maksudnya, kita tahu bahwa sastra tidak hanya menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk jadi; melainkan menyajikan berbagai kemungkinan dalam menanggapi suatu masalah, yang jalinannya telah digariskan oleh pengarangnya. ‘Kenyataan’ dalam sastra bukanlah untuk diperiksa kebenarannya terhadap alam nyata melainkan bersifat mengimbau pembaca—bila perlu: menggali untuk menemukan sesuatu, yaitu nilai.
Secara khusus, pembelajaran sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai inderawi, nilai akali, nilai sosial, ataupun gabungan keseluruhannya. Tiap siswa merupakan individu sekaligus merupakan totalitas yang kompleks dan terdapat sejumlah kecakapan yang biasanya terwujud dalam bentuk kekurangan dan kelebihannya. Dalam konteks inilah kegiatan belajar-mengajar sastra hendaknya dilaksanakan. KBM harus melatih kecakapan: yang tampak lemah perlu dicermati; yang tampak kelebihan perlu dikembangkan. Dengan demikian, kecakapan yang perlu dilatih dan dikembangkan itu adalah kecakapan yang bersifat: (a) indria; (b) nalar; (c) afektif; (d) sosial; (e) agama.
Dalam bentuknya yang paling sederhana, pembelajaran sastra membekali siswa dengan keterampilan mendengarkan dan membaca (jika karya sastra dibacakan), menulis dan berbicara (jika siswa diberi kesempatan menulis dan mendiskusikan pandangannya tentang karya sastra). Namun, sebagai totalitas sebuah karya seni, manfaat sastra bagi pembelajaran adalah menyajikan kemungkinan-kemungkinan yang ada dan dapat ditemui dalam kehidupan manusia sebagaimana direka oleh pengarang. Misalnya, keperkasaan tidak hanya diukur dari kekuatan fisik (otot yang kuat) melainkan melalui ketekunan dan keteguhan hati sebagaimana terlihat dalam novel Pergolakan. Keindahan tidak harus diciptakan oleh keselarasan alam, tetapi dapat dibangkitkan dari keselarasan bunyi yang terdapat dalam larik-larik puisi.
Sehubungan dengan itu, pengetahuan yang diperoleh siswa dari sastra adalah pengetahuan tentang kehidupan budaya masyarakat; artinya, totalitas ciri-ciri khas suatu masyarakat tertentu sebagaimana yang disajikan dalam karya sastra.
5.2 Contoh Pelaksanaan PBI dalam Pembelajaran Apresiasi Novel dan Menulis Puisi
5.2.1 PBI dalam Pembelajaran Apresiasi Novel (Untuk siswa SMP Kelas 3)
Perencanaan:
Novel merupakan salah satu genre sastra, selain puisi, cerpen, dan drama. Dalam novel terdapat berbagai nilai kehidupan yang sengaja dihadirkan pengarang. Sebagai pembaca kita harus dapat mengungkapkan nilai-nilai tersebut, agar kita dapat meneladaninya.
Berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat, masih banyak kita temukan seorang gadis yang terpaksa atau dipaksa oleh keadaan atau alasan apa pun, untuk menikahi seseorang yang tidak dicintainya. Kenyataan ini telah tergambar dalam novel Siti Nurbaya.
Dalam hal ini guru sudah merencanakan masalah yang harus dipecahkan siswa yang terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Siti Nurbaya. Guru sudah memberi tugas kepada siswa untuk membaca novel tersebut maksimal 2 minggu sebelumnya. Guru juga sudah memfasilitasi siswa dengan menunjukkan novel tersebut di perpustakaan sekolah. Dengan demikian, siswa sudah mempunyai gambaran terinci tentang isi novel tersebut.
Tugas Interaktif
Langkah ini terdiri atas lima tahap sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu:
Tahap 1: Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yakni mengajak siswa untuk memecahkan berbagai permasalahan melalui pertanyaan yang diajukan berdasarkan isi novel Siti Nurbaya. Pertanyaan tersebut meliputi:
(1) Menurut kalian, tema apakah yang terdapat dalam novel Siti Nurbaya?
(2) Jika kalian menjadi Siti Nurbaya, layakkah kalian melakukan perkawinan dengan Datuk Maringgih?
(3) Dalam benak kalian, Siti Nurbaya itu sosok yang bagaimanakah? Lemah dan patut dikasihani ataukah sebaliknya, dia adalah pahlawan bagi keluarganya?
(4) Nilai-nilai apa yang dihadirkan dari tokoh Siti Nurbaya?
(5) Gambarkan bagaimana perasaan kalian seandainya kalian menjadi Siti Nurbaya ketika itu. Kalian boleh memerankan salah satu bagian perasaannya di depan kelas. Boleh juga kalian mengungkapkannya secara tertulis.
Dengan lima pertanyaan tersebut, diharapkan siswa memahami masalahnya. Dan agar siswa dapat memahami tugas-tugas atau pertanyaan atau masalah tersebut, guru berusaha memfasilitasi keperluan siswa, termasuk jika ada siswa yang belum memahami dengan baik tugas-tugas mereka. Dengan demikian diharapkan semua siswa merasa terlibat dalam masalah yang dihadapi oleh tokoh dalam novel itu.
Tahap 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Dalam tahap ini guru membantu siswa untuk membahas adanya tema dan tokoh (utama dan pembantu) dalam novel yang bernama Siti Nurbaya, yang memiliki sifat atau karakter tertentu. Siswa juga diajak membicarakan peristiwa yang dialami oleh Siti Nurbaya yang membuat dia harus menikahi Datuk Maringgih. Peristiwa itu melahirkan cerita yang dalam novel disebut alur atau plot, yang akhirnya juga melahirkan setting, yaitu tempat terjadinya peristiwa tersebut. Tema, tokoh, karakter, plot, dan setting itu dalam karya sastra disebut unsur intrinsik yaitu unsur yang terdapat dalam karya, unsur yang membangun cerita.
Selanjutnya guru mengajak siswa untuk membentuk kelompok agar dapat mendiskusikan berbagai masalah tersebut.
Tahap 3: Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai. Dalam hal ini siswa diberi kebebasan untuk membaca ulang novel tersebut, dan menemukan bagian-bagian tertentu yang mendukung pendapat mereka. Penemuan mereka atas bagian-bagian ini didasarkan pada diskusi yang mereka lakukan dalam kelompok.
Selain itu, dalam kelompok maupun secara individu, guru juga dapat memberikan motivasi mereka untuk melaksanakan eksperimen. Tentu yang dimaksudkan adalah bukan eksperimen di laboratorium, melainkan melakukan pembuatan laporan tertulis ataukah pelatihan-pelatihan yang terkait dengan peran mereka sebagai tokoh Siti Nurbaya. Pendapat mereka tentang sosok Siti Nurbaya dapat mereka putuskan melalui wawancara terhadap pembaca yang lain, misalnya kepala sekolah, guru-guru, atau mungkin kakak kelas.
Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Dalam hal ini siswa dibimbing untuk menentukan bentuk akhir karya mereka, secara tertulis ataukah bermain peran di depan kelas. Jika mereka memilih memerankan tokoh maka mereka juga harus menunjuk anggota kelompoknya yang akan mewakili. Pemeranan ini didasarkan pada pendapat mereka tentang sosok Siti Nurbaya.
Jika sudah ditentukan bentuk akhirnya, siswa diberi kesempatan untuk membacakan laporannya yang telah ditulis atau memerankan sosok Siti Nurbaya di depan kelas. Pembacaan atau pemeranan dilakukan secara bergantian.
Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Yang harus dicatat adalah bahwa ketika wakil dari kelompok menyampaikan hasil akhir diskusi mereka, kelompok lain harus memberikan penilaian tentang berfbagai pendapat yang telah disampaikan. Langkah ini penting, agar setelah kegiatan tersebut, guru bersama siswa dapat melakukan refleksi atau evaluasi. Idealnya, guru sudah mempersiapkan kisi-kisi atau format penilaian terlebih dahulu agar siswa dapat memberikan penilaian secara lebih terarah dan objektif. Analisis dan evaluasi sangat penting untuk menentukan keberhasilan siswa dalam memecahkan permasalahan dan untuk melihat kekurangan-kekurangannya agar dapat dijadikan pedoman dalam perbaikannya.
Lingkungan Belajar dan Tugas-tugas Manajemen
Dalam pelaksanaan PBI ini guru harus menerapkan beberapa aturan antara lain:
(1) Siswa secara individu sudah harus membaca novel Siti Nurbaya
(2) Secara individu pula, siswa harus membuat rangkuman isi novel Siti Nurbaya
(3) Siswa diberi kebebasan untuk memilih teman sebagai anggota kelompoknya. Namun, jika tidak memungkinkan karena berbagai hal, guru dapat menentukan kelompok dan anggotanya.
(4) Siswa diberi kebebasan untuk memilih cara memecahkan masalah yang diajukan, misalnya melakukan pembacaan ulang novel atau melakukan wawancara, termasuk pembagian tugas kelompok (Dalam hal ini guru hanya memotivasi, bukan ikut campur)
(5) Siswa yang akan melakukan wawancara harus sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan mewawancarai dengan baik sesuai dengan etika berwawancara.
(6) Siswa diberi kebebasan untuk menentukan bentuk akhir tugasnya, tertulis (berupa laporan) ataukah pemeranan tokoh. Penentuan berdasarkan hasil diskusi kelompok.
(7) Siswa harus menyampaikan hasil akhir sesuai waktu yang telah ditentukan guru. Kelompok yang tepat waktu akan diberikan penghargaan, kelompok yang terlambat akan diberikan sanksi yang tidak memberatkan.
(8) Siswa harus melakukan penilaian dan refleksi terhadap hasil akhir temannya berdasarkan format penilaian yang disiapkan guru.
(9) Siswa yang meminjam berbagai bahan atau sumber dari perpustakaan sekolah berkewajiban menjaga sebaik-baiknya dan mengembalikannya segera setelah tugas berakhir.
(10) Kelompok atau individu yang mendapatkan nilai tertinggi akan diberi penghargaan khusus, sesuai dengan situasi dan kondisi.
Evaluasi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tahap-tahap pelaksanaan pembelajaran di atas, tampak bahwa PBI tidak mengutamakan perhatian pada pengetahuan deklaratif. Oleh karena itu penilaian yang dipilih bukan berupa tes tertulis yang memenuhi ranah kognitif saja. Teknik penilaian yang dipilih adalah menilai hasil pekerjaan siswa yang merupakan hasil diskusi atau penyelidikan mereka, melalui penilaian kinerja dan peragaan hasil.
Kunci jawaban: (Sebagai contoh jawaban perkiraan siswa)
Sebagian besar kita beranggapan bahwa tema dasar novel Siti Nurbaya adalah kawin paksa. Dengan demikian citra yang dihadirkan pembaca terhadap tokoh utama (Siti Nurbaya) adalah perempuan lemah, memelas, perlu dikasihani, dan sebagainya. Namun, jika kita simak lebih saksama maka akan terungkap nilai-nilai luhur yang dicontohkan. Pertama, pengorbanan seorang anak terhadap kepentingan keluarganya. Demi menjaga kehormatan ayahnya yang tenggelam dalam hutang, Siti Nurbaya menikahi Datuk Maringgih. Kedua, di saat ayah Nurbaya tiba-tiba wafat, dia secara fisik melemparkan suaminya keluar rumah sesuai hukum adat setempat adalah milik isteri. Dengan demikian, ia rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi kehormatan keluarganya, tetapi dengan tegas dia melaksanakan apa yang menjadi haknya bila saatnya tiba. Tentu saja pembahasan ini akan menimbulkan berbagai pendapat yang menarik untuk didiskusikan.
Catatan: Jawaban siswa bisa berbeda atau mirip dengan jawaban di atas. Yang dipentingkan adalah alasan atau argumen yang disampaikan siswa dalam hal mendukung pendapat mereka.
5.2.2 PBI dalam Pembelajaran Menulis Puisi (Untuk Siswa SD Kelas 5)
Perencanaan:
Berangkat dari fakta di lapangan (merupakan masalah nyata) adalah bahwa menulis puisi itu dianggap sulit dan menyulitkan. Sulit dalam arti para siswa cenderung menganggap tidak dapat menulis puisi, dan menyulitkan bagi guru tentang cara mengajarkannya yang baik kepada siswa.Uraiannya sebagai berikut.
Ø Di sekolah (SD-SMA) pelajaran sastra menjadi bagian dari pelajaran bahasa Indonesia. Kita menyadari bahwa sebagian besar guru merasa kesulitan ketika diminta untuk mengajarkan sastra, terutama menulis puisi. Mereka telah direpotkan dengan mengajarkan bagaimana bahasa Indonesia yang baik dan benar; karena kemungkinan guru itu sendiri belum memiliki kemampuan memadai atas bahasa nasional.
Ø Di sekolah-sekolah pembelajaran sastra masih muncul sebagai ilmu. Buku-buku sastra penuh dengan nama-nama pengarang, daftar karyanya, riwayat hidupnya, istilah-istilah sastra, dengan sedikit sekali contoh; mereka harus menghafal dan sebagai syarat sebagai kelulusan ujian. Yang memprihatinkan, murid tidak perlu lagi membaca karya-karya sastra, sebab ringkasan novel-novel sastra sudah diterbitkan.
Ø Sebagian guru yang mempunyai perhatian besar terhadap sastra, berdalih bahwa mereka bukan sastrawan. Oleh karena itu wajar bila mereka tidak dapat mengajarkan menulis puisi kepada siswa.
Tetapi, seorang guru yang kreatif inovatif mencoba menerapkan pembelajaran menulis puisi di kelas secara individual dengan model PBI di sebuah SD kelas 5. Berikut langkah-langkahnya:
Tugas Interaktif
Tahap 1: Orientasi siswa pada masalah
Ø Guru bertanya kepada siswa hal-hal berikut: “Pernahkah kalian membaca puisi?”, Puisi apakah yang kalian sukai?”, “Pernahkah menulis puisi?”, “Benarkah menulis puisi itu sulit?”, “Bagaimanakah cara menulis puisi agar mudah?”.
Ø Menjelaskan tujuan pembelajaran pada hari itu, yakni bagaimana cara menulis puisi. Tujuan akhir dari pembelajaran adalah menunjukkan pada siswa bahwa menulis puisi tidak sesulit yang diperkirakan, asalkan ada kemauan dan dengan cara yang benar. Selanjutnya guru menyiapkan beberapa alat yang dibutuhkan (dalam hal ini berbagai contoh puisi dan mungkin kamus umum maupun kamus istilah sastra).
Pada awal tahap ini siswa terlihat ramai, tetapi dengan teknik apersepsi guru yang baik dan menarik, membuat siswa menjadi tenang penuh perhatian.
Ø Sebagai pengantar (apersepsi): guru bercerita kepada siswa tentang juru hipnotis. Dengan lancar dan santai guru menggambarkan kepada siswa bagaimana cara ahli hipnotis itu menguasai “mangsa”nya sehingga siswa terpikat perhatiannya. Dia berikan contoh sederhana cara menghipnotis seseorang, dan sebenarnya dia hendak mengatakan bahwa setiap orang dapat manjadi ahli hipnotis. Alat utama yang dipakai untuk menguasai orang adalah “kata”. Jadi, masalah utama yang ingin disampaikan guru kepada siswa adalah: bagaimana mencipta dan menyusun kata-kata, menyusun kalimat, sehingga menjadi sebuah puisi. Dengan kata lain masalah yang disampaikan kepada siswa adalah bagaimana cara menulis puisi, yang selama ini dianggap sulit.
Tahap 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Ø Siswa diberi kesempatan untuk memilih sendiri tema-tema yang menjadi perhatian mereka yang layak untuk ditulis. Guru memotivasi agar siswa tidak kesulitan memilihnya, diupayakan memilih tema yang terdekat dengan lingkungan mereka. (misalnya tentang guru mereka, tentang adik, tentang ibunda, boneka, dan sebagainya)
Ø Melalui cerita guru tentang hipnotis atau cara menguasai orang lain dengan kata, siswa berusaha mengungkapkan tema-tema yang mereka pilih dalam bentuk kata-kata atau kalimat.
Ø Guru menegaskan kepada siswa bahwa tugas mereka adalah menulis puisi, yang berarti mereka harus mengungkapkan perasaan sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing.
Ø Siswa berkesempatan untuk mengungkapkan peristiwa yang pernah mereka alami secara lisan. Diharapkan melalui kegiatan ini siswa terlatih bagaimana menyampaikan isi hatinya dengan menggunakan kata-kata atau kalimat. Diprediksi bahwa kelas akan sedikit ribut, karena beberapa siswa akan meneritakan pengalaman masing-masing dengan cara yang berbeda-beda. Namun, hal itu menunjukkan bahwa guru telah berhasil mengajak siswa untuk belajar mengungkapkan perasaan, meskipun dengan bahasa sehari-hari dan secara lisan.
Tahap 3: Membimbing penyelidikan (individual, karena jumlah kelas kecil)
Ø Guru mendorong siswa untuk menyiapkan dan mengungkapkan pengalaman yang menarik untuk diceritakan (tentang seseorang atau sesuatu) yang pernah mereka alami atau dialami orang lain secara tertulis.
Ø Siswa diberi kebebasan untuk melihat contoh-ontoh puisi sederhana yang dibuat oleh anak-anak, baik yang terdapat di buku-buku perpustakaan sekolah maupun buku lain bahkan kamus.
Guru juga berusaha menjelaskan (mendefinisikan) bahwa menulis puisi sebenarnya adalah upaya mengungkapkan berbagai perasaan (sedih, senang, kecewa, benci, malu, dan sebagainya) dengan menggunakan kata-kata.
Berdasarkan contoh-contoh yang telah dilihat siswa sebagaimana pada tahap 2 tersebut, siswa didorong untuk melakukan eksperimen, yakni menyampaikan perasaannya (bisa juga pendapatnya) dengan menggunakan/memilih kata-kata (diksi) yang tepat dan menyusunnya dalam kalimat biasa (nonpuitis).
Ø Dalam tahap ini siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk bermain-main dengan kata-kata, mimilih dan memilah kata, serta menyusun sedemikian sehingga dihasilkan karya tulis yang dapat disebut sebagai puisi. Pada tahap ini guru dapat bertindak sebagai fasilitator bagi siswa. Guru dapat berkeliling kelas, mengantisipasi berbagai kemungkinan termasuk menanyakan kesulitan-kesulitan siswa dalam menulis puisi, terutama ketika melakukan editing terhadap kata atau kalimat yang mereka gunakan, termasuk menentukan judul puisi.
Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Ø Kemungkinan, kata-kata atau kalimat yang disusun siswa sebagai ungkapan perasaannya, belum pantas disebut puisi sebagaimana contoh berikut ini.
Kalimat siswa: Saya sangat mencintai adik. Setiap hari aku menggendongnya dan aku tidak lupa menciumnya karena adikku menggemaskan. Wajah adikku sangat cantik, putih, tidak seperti diriku. Kata orang-orang, adikku menurun ibuku, sedang aku seperti ayahku.
Ø Setelah menyusun kalimat yang merupakan ungkapan perasaannya terhadap sesuatu atau seseorang, siswa diajak melakukan editing terhadap kalimat tersebut agar terpenuhi persyaratan sebagai sebuah puisi. Langkah ini sekaligus sebagai contoh kepada siswa bagaimana melakukan editing, yang berarti bagaimana melakukan pemilihan kata dan menyusunnya menjadi puisi. Langkah ini boleh diulang sesuai waktu yang tersedia, sampai siswa memahami cara melakukannya.
(yang perlu diperhatikan, sekilas seperti guru yang aktif menemukan pemecahan masalah, tetapi sesungguhnya guru hanya sebagai fasilitator dan motivator yang bertugas mengarahkan langkah siswa dalam menulis puisi, agar lebih terarah. Langkah ini penting, mengingat siswa masih di SD, yang masih membutuhkan bimbingan dari guru)
Contoh untuk langkah tersebut:
Setelah diedit (guru memberi contoh, tetapi seolah mengajak siswa bersama-sama melakukan editing=mengubah kata atau susunan kata tanpa mengubah makna):
Kucintai adikku
Kuayun dan kucium dia
Gemas aku dibuatnya
Betapa cantik putih adikku,
Seperti ibunda
Tak sepertiku, serupa ayahku
Ø Setelah langkah ini, dapat dibicarakan judul yang sesuai dengan isi puisi tersebut.
Ø Dalam tahap ini guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan hasil karyanya (misalnya menuliskan pada kertas yang indah dengan tulisan yang indah disertai ilustrasi yang indah sesuai isi puisi). Tidak menutup kemungkinan guru membimbing siswa untuk mempersiapkan cara membacakan puisi tersebut.
Langkah ini dimaksudkan agar puisi tersebut dapat ditampilkan atau dibacakan dengan baik, sehingga isi puisi dapat dipahami oleh teman-temannya dengan baik pula. Diharapkan, jika waktu memungkinkan, setiap siswa berkesempatan untuk membacakan hasil karyanya (sesuaikan dengan jumlah siswa dan waktu yang tersedia). Namun, yang perlu dicatat, karya siswa apa pun dan bagaimana pun wujudnya, hendaknya dipajang di kelas (di tempat tertentu yang telah disediakan), sebagai wujud penghargaan terhadap jerih payah mereka dalam menulis puisi.
Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Ø Ketika salah seorang siswa memaparkan atau membacakan hasil karyanya, siswa lain dapat melakukan evaluasi sesuai dengan kriteria puisi yang baik. Penilaian dilakukan dengan menggunakan kisi-kisi/instrumen penilaian yang sesuai. Instrumen dapat disiapkan terlebih dahulu oleh guru dan disebarkan kepada siswa sebelum pembacaan puisi dilakukan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada penilaian yang dilakukan secara seenaknya (ngawur).
Ø Akhirnya guru menegaskan, “Asal kalian berusaha memilih kata dan menyusunnya dengan tepat, kalian pun akan dapat menghasilkan puisi yang memikat. Pungutlah beberapa kata yang bertebaran di sekeliling kita, susun dalam kalimat-kalimat yang mengena, maka jadilah sebuah sajak/puisi”.
Ø Setelah semua membacakan dan mengevaluasi, lalu dilakukan refleksi terhadap segala hal yang telah mereka lakukan. Refleksi dapat dilakukan terhadap pelaksanaan pembelajaran pada hari itu (mudah, menyenangkan atau sulit dan membosankah menulis puisi itu?). Di samping itu, refleksi dapat pula dilakukan terhadap hasil puisi siswa (kelebihan dan kekurangannya). Dalam tahap ini diberikan penghargaan terhadap siswa yang mendapatkan nilai terbaik dari temannya dan dari gurunya. Penghargaan dapat berupa apa pun yang menyenangkan siswa.
Contoh Format Penilaian Hasil Menulis Puisi Siswa:
NO | ASPEK YANG DINILAI | DESKRIPTOR | SKOR |
1 | Judul | Sesuai dengan tema/isi keseluruhan Kurang sesuai dengan tema/isi Tidak sesuai dengan tema/isi | 5 3 1 |
2 | Diksi | Mendukung makna keseluruhan Kurang mendukung makna Tidak mendukung makna | 5 3 1 |
3 | Tipografi | Disusun secara tepat, memenuhi kriteria puisi Kurang dapat menyusun Tidak disusun secara tepat | 5 3 1 |
| | Skor maksimal | 27 |
Cara menghitung skor akhir: Jumlah skor perolehan X 100
Skor maksimal
CATATAN:
Oleh karena tema atau pengalaman yang diceritakan siswa melalui puisi itu bersifat bebas mengenai sesuatu atau seseorang (sedih, gembira, kagum, benci, dan sebagainya) maka tidak menutup kemungkinan siswa akan mengungkapkan pendapat mereka tentang sekolah, petugas perpustakaan, kepala sekolah, bahkan gurunya sendiri. Apa pun wujud pendapat mereka termasuk tentang guru, kita tidak boleh mencela apalagi marah, sebagaimana terlihat pada contoh puisi karya siswa di bawah ini:
Aku bosan dalam kelas,
Kuhipnotis agar Pak Guru sakit,
perutnya melilit,
dan tak bisa melanjutkan pelajaran.
dan kelas dibubarkan.
Hore! Teman-teman,
Kita boleh pulang!
Nah bagaimana jika Anda yang menjadi guru? Tersinggungkah? Atau marahkah?
6. Simpulan
Satu inovasi yang lahir untuk mengantisipasi perubahan paradigma pembelajaran adalah diterapkannya model-model pembelajaran yang inovatif yang berorientasi konstruktif. Inovasi ini bermula dan diadopsi dari metode kerja para ilmuwan dalam menemukan suatu pengetahuan baru. Model-model ini lahir untuk mengatasi masalah pokok dalam pembelajaran dewasa ini, yakni masih rendahnya daya serap siswa, yang tampak dari hasil belajar mereka yang masih memprihatinkan.
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran, termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam desain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah, belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian dan bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.
Secara khusus, pembelajaran sastra bertujuan mengembangkan kepekaan suswa terhadap nilai-nilai inderawi, nilai akali, nilai sosial, ataupun gabungan keseluruhannya. Tiap siswa merupakan individu sekaligus merupakan totalitas yang kompleks dan terdapat sejumlah kecakapan yang biasanya terwujud dalam bentuk kekurangan dan kelebihannya. Dalam konteks inilah kegiatan belajar-mengajar sastra hendaknya dilaksanakan. KBM harus melatih kecakapan: yang tampak lemah perlu dicermati; yang tampak kelebihan perlu dikembangkan. Dengan demikian, kecakapan yang perlu dilatih dan dikembangkan itu adalah kecakapan yang bersifat: (a) indria; (b) nalar; (c) afektif; (d) sosial; (e) agama.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard, I. 2007. Classroom Instruction and Management. New-York: McGraw-Hill.
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
------- dan Muhammad Nur. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press.
Kasdi, S. Dan Muhammad Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: University Press.
Khabibah, S. 2006. “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Soal Terbuka untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa SD” .Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana Unesa.
Komarudin. 2005. “Langkah-langkah Praktik Belajar Pengetahuan Sosial/Pembelajaran Portofolio”. Makalah Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Fasilitator Guru Bidang Studi IPS MTs Tingkat Nasional, Diselenggarakan oleh Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI.
Marineau, C. 1999. “Self-Assessment at Work: Self-Outcomes of Adult Learner’s Reflection on Practise”. Adult Education Quarterly. Spring.
Oemarjati, Boen S. 1996. “Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa” dalam Sumardi (ed). Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher.
Woods, D. 1985. “Problem-Based Learning and Problem Solving” in D. Boud (ed). Problem-Based Learning for Professions. Sydney: HERDSA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar