Kumpulan RPP dan Silabus Berkarakter, Contoh PTK, Contoh Skripsi, Makalah Pendidikan Terbaru 2012

KONSEP PENDEKATAN,METODE DAN STRATEGI DALAM PEMBELAJARAN

KONSEP PENDEKATAN,METODE DAN STRATEGI DALAM PEMBELAJARAN

2.2 Pendekatan, Metode, dan Strategi Pembelajaran
2.2.1 Pendekatan-pendekatan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia dalam tulisan ini dibatasi pada empat macam pendekatan, yaitu pendekatan whole language, pendekatan kontekstual, dan pendekatan komunikatif, dan pendekatan integratif.

2.2.1.1 Pendekatan Whole Language
Whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang menyajikan pembelajaran bahasa secara utuh atau tidak terpisah-pisah. (Edelsky, 1991; Froese, 1990; Goodman, 1986; Weafer, 1992, dalam Santosa, 2004). Para ahli whole language berkeyakinan bahwa bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipisah-pisah (Rigg, 1991). Oleh karena itu, pengajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosakata disajikan secara utuh bermakna dan dalam situasi nyata atau otentik. Pengajaran tentang penggunaan tanda baca, umpamanya, diajarkan sehubungan dengan pembelajaran keterampilan menulis. Demikian juga pembelajaran membaca dapat diajarkan bersamaan dengan pembelajaran berbicara, pembelajaran sastra dapat disajikan bersamaan dengan pembelajaran membaca dan menulis ataupun berbicara. Selain itu, dalam pendekatan whole language, pembelajaran bahasa dapat juga disajikan sekaligus dengan materi pelajaran lain, umpamanya bahasa-matematika, bahasa-IPS, bahasa-sains, bahasa-agama
Pendekatan whole language didasari oleh paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa anak membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh (whole) dan terpadu (integrated) (Robert dalam Santosa, 2004:2.3). Anak termotivasi untuk belajar jika mereka melihat bahwa yang dipelajarinya memang bermakna bagi mereka. Orang dewasa, dalam hal ini guru, berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang menunjang untuk siswa agar mereka dapat belajar dengan baik. Fungsi guru dalam kelas whole language berubah dari fungsi desiminator informasi menjadi fasilitator (Lamme & Hysmith, 1993).
Ciri-ciri Kelas Whole Language
Ada tujuh ciri yang menandakan kelas whole language. Pertama, kelas yang menerapkan whole language penuh dengan barang cetakan. Barang-barang tersebut memenuhi kabinet dan sudut belajar. Poster hasil kerja siswa menghiasi dinding dan bulletin board. Karya tulis siswa dan chart yang dibuat siswa menggantikan bulletin board yang dibuat oleh guru. Salah satu sudut kelas diubah menjadi perpustakaan yang dilengkapai berbagai jenis buku (tidak hanya buku teks), majalah, koran, kamus, buku pentunjuk dan berbagai barang cetak lainnya. Semua ini disusun dengan rapi berdasarkan pengarang atau jenisnya sehingga memudahkan siswa memilih. Walaupun hanya satu sudut yang dijadikan perpustakaan, tetapi buku tersedia di seluruh ruang kelas.
Kedua, di kelas whole language siswa belajar melalui model atau contoh. Guru dan siswa bersama-sama melakukan kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Over head projector (OHP) dan transparansi digunakan untuk untuk memperagakan proses menulis, misalnya guru ingin memperlihatkan salah satu hasil karya/tulisan siswa. Siswa mendengarkan cerita melalui tape recorder untuk mendapatkan contoh membaca yang benar dan menyimak dengan benar.
Ketiga, di kelas whole language siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya. Agar siswa dapat belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya, di kelas harus tersedia buku dan materi yang menunjang. Buku disusun berdasarkan tingkat kemampuan membaca siswa sehingga siswa dapat memilih buku yang sesuai untukya. Di kelas juga tersedia meja besar yang dapat digunakan siswa untuk menulis, melakukan editing dengan temannya, atau membuat cover untuk buku yang ditulisnya. Langkah-langkah proses menulis tertempel di dinding sehingga siswa dapat melihatnya setiap saat.
Keempat, di kelas whole language siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran. Peran guru di kelas whole language hanya sebagai fasilitator dan siswa mengambil alih beberapa tanggung jawab yang biasanya dilakukan oleh guru. Siswa membuat kumpulan kata (word bank) dengan cara masing-masing siswa menuliskan sejumlah kata baru yang baru mereka dengar atau mereka baca. Kata-kata tersebut dikumpulkan dalam sebuah buku yang khusus disediakan untuk itu. Hasil karya anak dipajang di seluruh ruangan. Siswa menjaga kebersihan dan kerapian kelas. Buku perpustakaan dipinjam dan dikembalikan oleh siswa tanpa bantuan guru. Buku bacaan atau majalah dibawa oleh siswa dari rumah. Pada salah satu dinding terpampang pembagian tugas untuk setiap siswa. Siswa bebas bereksplorasi di kelas.
Kelima, di kelas whole language siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran bermakna. Siswa secara aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang membantu mengembangkan rasa tanggung jawab dan tidak tergantung. Siswa terlibat dalam kegiatan kelompok kecil atau kegiatan individual. Guru terlibat dalam konferensi dengan siswa atau berkeliling ruangan mengamati siswa, berinteraksi dengan siswa atau membuat catatan tentang kegiatan siswa. Dalam hal ini interaksinya adalah multiarah.
Keenam, di kelas whole language siswa berani mengambil risiko dan bebas bereksperimen. Guru di kelas whole language menyediakan kegiatan belajar dalam berbagai kemampuan sehingga semua siswa dapat berhasil. Hasil tulisan siswa dipajang tanpa ada tanda koreksi. Contoh hasil kerja setiap siswa terpampang di seputar ruang kelas. Siswa dipacu untuk melakukan yang terbaik. Namun, guru tidak mengharapkan kesempurnaan. Yang penting adalah respon atau jawaban yang diberikan siswa dapat diterima.
Ketujuh, di kelas whole language mendapat balikan (feed back) positif baik dari guru maupun temannya. Ciri kelas whole language adalah pemberian feed back dengan segera. Meja ditata berkelompok agar memungkinkan siswa berdiskusi, berkolaborasi, dan melakukan konferensi. Konferensi antara guru dan siswa memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri dan melihat perkembangan diri. Siswa yang mempresentasikan hasil tulisannya mendapatkan respon positif dari temannya. Hal ini dapat membangkitkan rasa percaya diri.
Dari ketujuh ciri tersebut dapat terlihat bahwa siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Guru tidak perlu berdiri lagi di depan kelas meyampaikan materi. Sebagai fasilitator guru berkeliling kelas mengamati dan mencatat kegiatan siswa. Dalam hal ini guru menilai siswa secara informal.


Penilaian dalam Kelas Whole Language
Dalam kelas whole language guru senantiasa memperhatikan kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Secara informal selama pembelajaran berlangsung guru memperhatikan siswa menulis, mendengarkan siswa berdiskusi baik dalam kelompok maupun diskusi kelas. Ketika siswa bercakap-cakap dengan temannya atau dengan guru, penilaian juga dilakukan. Bahkan, guru juga memberikan penilaian saat siswa bermain selama waktu istirahat. Kemudian, penilaian juga berlangsung ketika siswa dan guru mengadakan konferensi. Walaupun guru tidak terlihat membawa-bawa buku, guru menggunakan alat penilaian seperti lembar observasi dan catatan anekdot. Dengan kata lain, dalam kelas whole language guru memberikan penilaian pada siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Selain penilaian informal, penilaian juga dilakukan dengan menggunakan portofolio. Portofolio adalah kumpulan hasil kerja selama kegiatan pembelajaran. Dengan portofolio perkembangan siswa dapat terlihat secara otentik.


2.2.1.2 Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Melalui pemaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.
Kontekstual adalah kaidah yang dibentuk berasaskan maksud kontekstual itu sendiri, seharusnya mampu membawa pelajar ke pembelajaran isi dan konsep yang berkenaan atau relevan bagi mereka, dan juga memberi makna dalam kehidupan seharian mereka. Jadi, pembelajaran kontekstual merupakan satu konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan bahan subjek yang dipelajari dengan situasi dunia sebenarnya dan memotivasikan pembelajar untuk membuat kaitan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan harian mereka sebagai ahli keluarga, warga masyarakat, dan pekerja.
Elaine B. Johnson memberikan penjelasan bahwa Contextual Teaching Learning (CTL) adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B. Johnson, 2007:14).
Dalam pendekatan kontekstual, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu: 1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, 2) melakukan pekerjaan yang berarti, 3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, 4) bekerja sama, 5) berpikir kritis dan kreatif, 6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, 7) mencapai standar yang tinggi, 8) menggunakan penilaian autentik (Elaine B. Johnson, 2007:65-66).
Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa pendekatan kontekstual adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.
Pendekatan kontekstual dapat diterapkan dalam mata pelajaran apa saja. Tidak terkecuali dalam pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia. Menurut konsep CTL, “Belajar akan lebih bermakna jika anak didik ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan sekadar ‘mengetahui’ apa yang dipelajarinya. Pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak didik memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Hernowo, 2005:61).
CTL merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109).
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, CTL tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.
Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan CTL:
a. Dalam CTL pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
b. Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara
keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
c. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
d. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Di sisi lain, Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan strategi pembelajaran berdarakan CTL.
a. Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata pelajaran tersebut.
b. Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
c. Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
d. Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
e. Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang cocok dengan dirinya.
f. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka mengekspresikannya dengan bebas.
g. Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).

Berdasarkan penjelasan di atas, berarti pendekatan kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya. Dengan transfer diharapkan: (a) siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari ‘pemberian orang lain’; (b) keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit) sedikit demi sedikit; (c) penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.

2.2.1.3 Pendekatan Komunikatif
Munculnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari adanya perubahan-perubahan dalam tradisi pembelajaran bahasa di Inggris pada tahun 1960-an menggunakan pendekatan situasional (Tarigan, 1989:270). Dalam pembelajaran bahasa secara situasional, bahasa diajarkan dengan cara mempraktikkan/melatihkan struktur-struktur dasar dalam berbagai kegiatan berdasarkan situasi yang bermakna. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, seperti halnya teori linguistik yang mendasari audiolingualisme, ditolak di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1960-an dan para pakar linguistik terapan Inggris pun mulai mempermasalahkan asumsi-asumsi yang mendasari pengajaran bahasa situasional. Menurut mereka, tidak ada harapan/masa depan untuk meneruskan mengajar gagasan yang tidak masuk akal terhadap peramalan bahasa berdasarkan peristiwa-peristiwa situasional. Apa yang dibutuhkan adalah suatu studi yang lebih cermat mengenai bahasa itu sendiri dan kembali kepada konsep tradisional bahwa ucapan-ucapan mengandung makna dalam dirinya dan mengekspresikan makna serta maksud-maksud pembicara dan penulis yang menciptakannya (Howatt, 1984:280, dalam Tarigan, 1989:270).
Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan pembelajaran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi pembelajaran 4 keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), mengakui dan menghargai saling ketergantungan bahasa.
Ciri utama pendekatan komunikatif adalah adanya 2 kegiatan yang saling berkaitan erat, yakni adanya kegiatan-kegiatan komunikatif fungsional (functional communication activies) dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya interaksi sosial (social interaction activies). Kegiatan komunikatif fungsional terdiri atas 4 hal, yakni: mengolah infomasi, berbagi dan mengolah informasi, berbagi informasi dengan kerja sama terbatas, dan berbagi informasi dengan kerja sama tak terbatas. Kegiatan interaksi sosial terdiri atas 6 hal, yakni: improvisasi lakon-lakon pendek yang lucu, aneka simulasi, dialog dan bermain peran, sidang-sidang konversasi, diskusi, serta berdebat.
Ada delapan aspek yang berkaitan erat dengan pendekatan komunikatif (Nunan, 1989, dalam Solchan T.W., dkk. 2001:66), yaitu:
a. Teori Bahasa Pendekatan Komunikatif berdasarkan teori bahasa menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa adalah suatu sistem untuk mengekspresikan makna, yang menekankan pada dimensi semantik dan komunikatif daripada ciri-ciri gramatikal bahasa. Oleh karena itu, yang perlu ditonjolkan adalah interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.
b. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini adalah teori pemerolehan bahasa kedua secara alamiah.
c. Tujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi (kompetensi dan performansi komunikatif).
d. Silabus harus disusun searah dengan tujuan pembelajaran dan tujuan yang dirumuskan dan materi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan siswa.
e. Tipe kegiatan tukar menukar informasi, negosiasi makna atau kegiatan lain yang bersifat riil.
f. Peran guru fasilitator proses komunikasi, partisipan tugas dan tes, penganalisis kebutuhan, konselor, dan manajer proses belajar.
g. Peran siswa pemberi dan penerima, sehingga siswa tidak hanya menguasai bentuk bahasa, tapi juga bentuk dan maknanya.
h. Peranan materi pendukung usaha meningkatkan kemahiran berbahasa dalam tindak komunikasi nyata.

Prosedur-prosedur pembelajaran berdasarkan pendekatan komunikatif lebih bersifat evolusioner daripada revolusioner. Adapun garis kegiatan pembelajaran yang ditawarkan mereka adalah; penyajian dilog singkat, pelatihan lisan dialog yang disajikan, penyajian tanya jawab, penelaah dan pengkajian, penarikan simpulan, aktivitas interpretatif, aktivitas produksi lisan, pemberian tugas, pelaksanaan evaluasi.

2.2.1.4 Pendekatan Integratif
Pendekatan Integratif dapat dimaknakan sebagai pendekatan yang menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses. Integratif terbagi menjadi interbidang studi dan antarbidang studi. Interbidang studi artinya beberapa aspek dalam satu bidang studi diintegrasikan. Misalnya, mendengarkan diintegrasikan dengan berbicara dan menulis. Menulis diintegrasikan dengan berbicara dan membaca. Materi kebahasaan diintegrasikan dengan keterampilan bahasa. Integratif antarbidang studi merupakan pengintegrasian bahan dari beberapa bidang studi. Misalnya, bahasa Indonesia dengan matematika atau dengan bidang studi lainnya.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, integratif interbidang studi lebih banyak digunakan. Saat mengajarkan kalimat, guru tidak secara langsung menyodorkan materi kalimat ke siswa tetapi diawali dengan membaca atau yang lainnya. Perpindahannya diatur secara tipis. Bahkan, guru yang pandai mengintegrasikan penyampaian materi dapat menyebabkan siswa tidak merasakan perpindahan materi.
Integratif sangat diharapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pengintegrasiannya diaplikasikan sesuai dengan kompetensi dasar yang perlu dimiliki siswa. Materi tidak dipisah-pisahkan. Materi ajar justru merupakan kesatuan yang perlu dikemas secara menarik.

2.3 Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran yang dibicarakan pada bagian ini tidak sepenuhnya disebut sebagai metode pembelajaran bahasa Indonesia. Artinya, metode-metode tersebut juga dikenal dalam pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang lain. Namun, metode-metode tersebut memungkinkan dapat diterapkan dalam rancangan pembelajaran bahasa Indonesia.

2.3.1 Metode Diskusi

Diskusi adalah proses pembelajaran melalui interaksi dalam kelompok. Setiap anggota kelompok saling bertukar ide tentang suatu isu dengan tujuan untuk memecahkan suatu masalah,menjawab suatu pertanyaan, menambah pengetahuan atau pemahaman, atau membuat suatu keputusan. Apabila proses diskusi melibatkan seluruh anggota kelas, pembelajaran dapat terjadi secara langsung dan bersifat student centered (berpisat pada siswa) Dikatakan pembelajaran langsung karena guru menentukan tujuan yang harus dicapai melalui diskusi, mengontrol aktivitas siswa serta menentukan fokus dan keberhasilan pembelajaran. Dikatakan berpusat kepada siswa karena sebagian besar input pembelajaran berasal dari siswa, mereka secara aktif aktif dan meningkatkan belajar, serta mereka dapat menemukan hasil diskusi mereka.

2.3.2 Metode Kerja Kelompok Kecil (Small-Group Work)

Mengorganisasikan siswa dalam kelompok kecil merupakan metode yang banyak dianjurkan oleh para pendidik. Metode ini dapat dilakukan untuk mengajarkan materi-materi khusus. Kerja kelompok kecil merupakan metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Siswa dituntut untuk memperoleh pengetahunan sendiri melalui bekerja secara bersama-sama. Tugas guru hanyalah memonitor apa yang dikerjakan siswa. Yang ingin diperolah melalui kerja kelompok adalah kemampuan interaksi sosial, atau kemampuan akademik atau mungkin juga keduanya.

2.3.3 Metode Komunikatif

Desain yang bermuatan komunikatif harus mencakup semua keterampilan berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran dispesifikkan ke dalam tujuan konkret yang merupakan produk akhir. Sebuah produk di sini dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dapat dipahami, ditulis, diutarakan, atau disajikan ke dalam nonlinguistis. Sepucuk surat adalah sebuah produk. Demikian pula, sebuah perintah, pesan, laporan, atau peta, juga merupakan produk yang dapat dilihat dan diamati. Dengan begitu, produk-produk tersebut dihasilkan melalui penyelesaian tugas yang berhasil.
Contohnya menyampaikan pesan kepada orang lain yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tujuan itu dapat dipecah menjadi (a) memahami pesan, (b) mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan keraguan, (c) mengajukan pertanyaan untuk memperoleh lebih banyak informasi, (d) membuat catatan, (e) menyusun catatan secara logis, dan (f) menyampaikan pesan secara lisan. Dengan begitu, untuk materi bahasan penyampaian pesan saja, aktivitas komunikasi dapat terbangun secara menarik, mendalam, dan membuat siswa lebih intensif.

2.3.4 Metode Partisipatori

Metode pembelajaran partisipatori lebih menekankan keterlibatan siswa secara penuh. Siswa dianggap sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa didudukkan sebagai subjek belajar. Dengan berpartisipasi aktif, siswa dapat menemukan hasil belajar. Guru hanya bersifat sebagai pemandu atau fasilitator.
Dalam metode partisipatori siswa aktif, dinamis, dan berlaku sebagai subjek. Namun, bukan berarti guru harus pasif, tetapi guru juga aktif dalam memfasilitasi belajar siswa dengan suara, gambar, tulisan dinding, dan sebagainya. Guru berperan sebagai pemandu yang penuh dengan motivasi, pandai berperan sebagai moderator dan kreatif. Konteks siswa menjadi tumpuan utama.

2.3.5 Metode Kuantum

Quantum Learning (QL) merupakan metode pendekatan belajar yang bertumpu dari metode Freire dari Lozanov. QL mengutamakan percepatan belajar dengan cara partisipatori peserta didik dalam melihat potensi diri dalam kondisi penguasaan diri. Gaya belajar dengan mengacu pada otak kanan dan otak kiri menjadi ciri khas QL. Menurut QL bahwa proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatu dapat berarti setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi, serta sejauh mana guru menggubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajaran maka sejauh itulah proses belajar berlangsung. Hubungan dinamis dalam lingkungan kelas merupakan landasan dan kerangka untuk belajar. Dengan begitu, pembelajar dapat mememori, membaca, menulis, dan membuat peta pikiran dengan cepat.

2.3.6 Metode Konstruktivistik

Asumsi sentral metode konstruktivistik adalah bahwa belajar itu menemukan. Meskipun guru menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka melakukan proses mental atau kerja otak atas informasi itu agar informasi tersebut masuk ke dalam pemahaman mereka. Konstruktivistik dimulai dari masalah (sering muncul dari siswa sendiri) dan selanjutnya membantu siswa menyelesaikan dan menemukan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut.
Metode konstruktivistik didasarkan pada teori belajar kognitif yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran generatif, strategi bertanya, inkuiri, atau menemukan dan keterampilan metakognitif lainnya (belajar bagaimana seharusnya belajar).

Sumber suplemen Bahasa Indonesia


share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Fakta Rahasia, Published at 17.24 and have 0 comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar